Jumat, 31 Agustus 2007

Reaktualisasi Khilafah Islamiyyah I

Oleh Nur Rohim Yunus**
Wacana mengenai hukum menegakkan "Khilafah Islamiyyah" tidak begitu hangat dibicarakan kecuali setelah munculnya kasus tragis pembubaran Khilafah Utsmaniyah di Turki pada tanggal 29 Oktober 1923, yang dilakukan oleh milisi pimpinan Musthafa Kemal. Sebagai respon dari peristiwa tersebut, ulama al Azhar menggelar munaqasyah pada bulan Mei 1924 mengenai masalah khilafah Islamiyyah (pemerintahan Islam). Namun perhelatan tersebut tidak sampai menghasilkan rekomendasi apa-apa. Karena di antara pesertanya terdapat beberapa personal yang menghendaki jabatan khalifah.Wacana ini pun semakin mengemuka setelah munculnya kitab al Islam wa Ushul al Hukm (Islam dan Akar Pemerintahan) karya `Ali `Abd al Raziq, pada tahun 1925. Dalam kitab tersebut, `Ali melontarkan pernyataan bahwa "Islam tidak mewajibkan kepada umatnya untuk mendirikan negara," dengan alasan al- Qur’an tidak memuat dalilnya secara tegas.(1)Lebih lanjut ia berargumen dengan ungkapan Nabi Isa as, “Hak kaisar untuk kaisar dan hak Allah untuk Allah”. Kemudian ia berasumsi bahwa urusan negara harus dipisahkan dengan urusan agama.(2) Landasan argumentasi ini pada hakikatnya sangat lemah sekali karena ungkapan Nabi Isa as yang menyatakan “Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi miliknya dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan” yang termuat dalam Mattius, 22:21, menurut Arnold Toynbee, pernyataan tersebut hanyalah suatu taktik agar rezim Romawi tidak memberangus diri Nabi Isa as. serta umatnya.(3) Pandangan ini pun berlandaskan pada paham sekulerisme yang berusaha memisahkan urusan agama dari urusan agama.Sebagai pengcounter kitab tersebut muncullah Dr. Dliya’ al Dien al Rais dengan kitabnya al Nazhriyat al Siyasiyah al Islamiyah (1952) dan al Islam wa al Khilafah fi al `Ashr al Hadits (1973).(4) Mulai saat inilah perhelatan seputar debat wacana Khilafah Islamiyyah mulai digulirkan.Beberapa sumber klasik (kitab) menyatakan bahwa sebenarnya perilaku Nabi Saw beserta sahabatnya antara kurun 610-662 M, merupakan gambaran jelas bahwa Nabi Saw telah melakukan aktivitas kenegaraan secara resmi. Pada saat itu (610-632) Nabi Saw telah memiliki kekuasaan (kekuatan militer), umat dan daerah.(5) Bahkan lebih jauh, beliau telah mengadakan hubungan bilateral antar negara (seperti dengan Parsi dan Habsyi). Hal tersebut menunjukkan bahwa eksistensi beliau sebagai kepala negara telah diakui oleh negara lain (de jure dan de facto).Demikian pula pada masa pemerintahan Khulafa al Rasyidun (632-662), terdapat banyak aktivitas yang dapat dijadikan indikasi bahwa pada saat itu Islam bukan hanya sebagai agama an sich, melainkan sekaligus sebagai negara. Sehingga dengan tegas pakar politik Islam, `Abd al Qadir `Audah dalam bukunya al Islam wa Awdla`una al Siyasiyah, menyatakan:“Islam adalah agama dan negara”.(6) Atau dalam bahasa orientalis Asta Olesen: “Islam is Both, Religion and State”, Islam itu ganda, agama sekaligus negara. Atau menurut H.A.R Gibb, “sesungguhnya Islam itu lebih dari sekedar sistem agama saja”.(7) Sampai di sini orientalis pun mengakui terhadap watak holistiknya (sistem menyeluruh) Islam, bahwa Islam itu bukan hanya sekedar agama, melainkan sekaligus sebagai negara.
Hukum Menegakkan Khilafah Islamiyyah
Mendirikan khilafah Islamiyyah, sama hukumnya dengan mendirikan negara Islam. Wajib syar`i menurut Mu`tazilah dan Asy`ariyah, wajib `aqly menurut Imamiyah, wajib syar`i dan `aqly menurut Hasan Bashry. (8)Menurut al Mubarak(9) meskipun tidak didapatkan nash sharih yang menunjukkan terhadap hukum wajib mendirikan negara (pemerintahan), namun terdapat beberapa keterangan shahih yang maknanya tendensius ke arah hukum wajib tersebut, di antaranya:1. Tidak halal bagi tiga orang yang berada di suatu lokasi, kecuali apabila salah seorang dari mereka dijadikan pemimpin bagi yang lainnya. (10)2. Apabila tiga orang melakukan perjalanan, maka salah seorang dari mereka harus dijadikan pemimpin. (11)Lebih lanjut menurut al Mubarak, “aktivitas kenegaraan” Nabi Saw di kota Madinah adalah merupakan bagian dari sunnah fi`liyah yang wajib dituruti. (12)Selain daripada itu, karena tabiat Islam yang bukan hanya sekedar memuat sistem `aqidah, melainkan berikut sistem akhlaq dan sistem syari`at (13), di antaranya hukum Jinayat/pidana yang apabila tidak dijalankan mengandung konsekwensi dosa, sedangkan tidak mungkin seluruh sistem tersebut dapat dijalankan apabila Islam tidak memiliki negara (pemerintahan) sebagai institusi formal yang mempunyai wewenang untuk memberikan sanksi hukum terhadap para pelaku jarimah (delik pidana), maka secara tidak langsung mendirikan negara/Khilafah Islamiyyah adalah wajib hukumnya. Sebagaimana bunyi kaidah:“Sesungguhnya hukum dari sesuatu yang menjadi penyempurna dari suatu kewajiban, adalah wajib”.
Penutup
Demikian jelaslah natijah-nya, bahwa hukum menegakkan khilafah Islamiyyah adalah wajib. Karena pada hakikatnya Nabi saw, disamping seorang rasul, juga menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik. Madinah adalah negara Islam pertama di muka bumi ini, di mana di dalamnya Islam mencapai bentuknya yang paling sempurna. Islam tidak hanya menjadi agama semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan Nabi selanjutnya diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang disebut khilafah. Khilafah tak lain adalah bentuk kekuasaan yang diidealkan untuk meneruskan bentuk kekuasaan yang diwariskan oleh Nabi. ® Wallâhu min warâ-i al qosdi wahuwa yahdi as-sabîl.
*Makalah ini adalah sebagian dari makalah penulis yang berjudul "Implimentasi Khilafah Islamiyah; Studi Kritis atas pemikiran tokoh JIL dan HTI", yang telah dipresentasikan dalam diskusi Forum Kajian Islam al-Qolam pada tanggal 18 Mei 2007 di Kampung Melayu Hostel 4 Kamar 140 IIU Islamabad.
**Penulis adalah anggota FKIQ Islamabad
Catatan Kaki:
(1). Lihat: Ali 'Abd al Raziq, al-Islam wa Ushul al Hukm, hal: 13.)
(2). Ibid, hal: 13.
(3). Lihat; Abu Hisyam, Makalah Negara Islam, Haruskah? Hukum Mendirikan Negara Islam, al-aysar@telkom.net.)
(4). Ibid.
(5). Lihat: M. al Mubarak, Nizham al Islam, hal: 16.
(6). Lihat: `Abd al Qadir `Audah dalam bukunya al Islam wa Awdla`una al Siyasiyah, hal; 70.
(7). Lihat: H.A.R Gibb, Mohammedahism an Historical, Oxford, 1969, Hal; 3.
(8). Al Syaukany, Nayl al Authar, IX/146-147.
(9). Lihat: al-Mubarak, Nizham al Islam, hal: 15.
(10). HR. Ahmad.
(11). H.R. Abu Dawud [Sunan Aby Dawud] III/36 + al Bayhaqy [Sunan Kubra] V/257.
(12). Lihat: al-Mubarak, op.cit., hal: 16.
(13). Lihat: M. Yusuf Musa, Nizham al Hukm, Hal: 15
buletin al-ibrah IIU Islamabad, Islamabad, Pakistan
(Sumber: ibrah.blogspot.com, Friday, July 13, 2007)

Tidak ada komentar: